Wednesday 14 March 2012

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN “JARKONI”


Perang melawan koruptor sekarang ini dianggap belum menampakan hasil yang signifikan. Buktinya, bukannya berkurang malah semakin hari semakin terkuak perilaku korup petinggi negeri ini. Yang lebih mengherankan pelaku tidak lagi generasi tua yang dianggap pro status quo terhadap sistem yang cenderung korup namun juga  generasi muda yang terjun sebagai seorang birokrat maupun politikus.
Generasi muda yang diharapkan mampu menjadi pendobrak sistem birokrasi dan politik yang korup, justru terjebak dalam kubangan sistem tersebut. Begitu dahsyatnyakah sistem yang dibangun oleh para koruptor sehingga  generasi muda yang masuk dalam sisitem tersebut sulit untuk melakukakan perubahan.Tampaknya godaan materi yang begitu besar dan keinginan melanggengkan kekuasaan menjadikan mereka buta hati lupa akan tugas mulia.Bahkan saat ini ditengarai muncul generasi baru koruptor yang sistemik dengan cara kerja yang lebih canggih.

Berangkat dari kondisi di atas tampaknya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud ) merasa perlu menjalankan muatan pendidikan antikorupsi di sekolah pada tahun ajaran 2012/2013, tepatnya mulai Juni mendatang.Pendidikan yang bertujuan membudayakan sikap dan perilaku antikorupsi ini akan dilekatkan pada kurikulum pendidikan karakter dan dilaksanakan sejak pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Pendidikan ini diberlakukan untuk seluruh warga sekolah dari siswa hingga kepala sekolah.
Dijalankannya pendidikan antikorupsi di sekolah bisa jadi merupakan indikasi munculnya anggapan bahwa pendidikan yang dijalankan saat ini tidak cukup membentuk karakter positif siswa yang antikorupsi.Bisa jadi pendidikan agama khususnya, dianggap gagal menanamkan kebencian terhadap perilaku korup. Sulit untuk diingkari bahwa pendidikan agama saat ini lebih cenderung menekankan aspek kognitif semata. Seorang siswa dinilai hanya dari seberapa banyak ayat  dan doa yang mampu dihafalnya bukan seberapa jauh mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.Namun demikian tidak adil rasanya menjadikan pendidikan agama sebagai kambing hitam atas keterpurukan pembentukan karakter bangsa ini. Bukankah pada dasarnya  pendidikan karakter tanggung jawab kita semua.
Pendidikan antikorupsi di sekolah hendaknya mampu memberi fondasi mental yang kuat bagi anak bangsa untuk tidak melakukan tindakan korupsi.Munculnya generasi baru yang antikorupsi diharapkan mampu mendobrak sistem dan budaya korup yang saat ini berdiri dengan kokohnya. Yang menjadi pertanyaan seberapa efektifkah pendidikan antikorupsi mampu mengedukasi generasi muda untuk tidak berperilaku korup. Tentu saja pertanyaan ini terlalu dini, mengingat program ini belum berjalan.
Pelaksanaan pendidikan antikorupsi di sekolah hendakanya dimulai dari budaya bebas korupsi oleh warga sekolah. Keteladanan perilaku bersih di lingkungan sekolah dalam pengelolaan dana pendidikan di sekolah akan menjadikan pendidikan antikorupsi di sekolah lebih efektif. Ironis jika di sekolah diterapkan pendidikan antikorupsi sementara praktek korupsi berjalan dengan bebasnya.Jika demikian yang terjadi, orang jawa sering menyebut kondisi ini dengan istilah jarkoni” alias  iso ujar ora iso nglakoni. Artinya bisa bicara tetapi tidak bisa berbuat.
Sekolah bukanlah “gedung ajaib” yang mampu menyelesaikan setiap masalah yang ada di negeri ini. Untuk memerangi penyakit yang bernama korupsi ini perlu penyelesaian yang terintegrasi. Reformasi di bidang politik, birokrasi, budaya dan lingkungan sosial harus selalu terus dilakukan guna mempersempit ruang gerak setiap orang yang berniat merampok uang rakyat.
                                                                                   

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar di sini. Apabila komentar membutuhkan suatu jawaban, maka saya akan segera menjawabnya. Terima kasih.