Perang
melawan koruptor sekarang ini dianggap belum menampakan hasil yang signifikan.
Buktinya, bukannya berkurang malah semakin hari semakin terkuak perilaku korup
petinggi negeri ini. Yang lebih mengherankan pelaku tidak lagi generasi tua
yang dianggap pro status quo terhadap
sistem yang cenderung korup namun juga
generasi muda yang terjun sebagai seorang birokrat maupun politikus.
Generasi
muda yang diharapkan mampu menjadi pendobrak sistem birokrasi dan politik yang
korup, justru terjebak dalam kubangan sistem tersebut. Begitu dahsyatnyakah
sistem yang dibangun oleh para koruptor sehingga generasi muda yang masuk dalam sisitem
tersebut sulit untuk melakukakan perubahan.Tampaknya godaan materi yang begitu
besar dan keinginan melanggengkan kekuasaan menjadikan mereka buta hati lupa
akan tugas mulia.Bahkan saat ini ditengarai muncul generasi baru koruptor yang
sistemik dengan cara kerja yang lebih canggih.
Berangkat
dari kondisi di atas tampaknya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud ) merasa perlu menjalankan muatan pendidikan antikorupsi
di sekolah pada tahun ajaran 2012/2013, tepatnya mulai Juni mendatang.Pendidikan
yang bertujuan membudayakan sikap dan perilaku antikorupsi ini akan dilekatkan
pada kurikulum pendidikan karakter dan dilaksanakan sejak pendidikan anak usia
dini hingga perguruan tinggi. Pendidikan ini diberlakukan untuk seluruh warga
sekolah dari siswa hingga kepala sekolah.
Dijalankannya
pendidikan antikorupsi di sekolah bisa jadi merupakan indikasi munculnya
anggapan bahwa pendidikan yang dijalankan saat ini tidak cukup membentuk
karakter positif siswa yang antikorupsi.Bisa jadi pendidikan agama khususnya,
dianggap gagal menanamkan kebencian terhadap perilaku korup. Sulit untuk
diingkari bahwa pendidikan agama saat ini lebih cenderung menekankan aspek
kognitif semata. Seorang siswa dinilai hanya dari seberapa banyak ayat dan doa yang mampu dihafalnya bukan seberapa
jauh mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.Namun demikian tidak
adil rasanya menjadikan pendidikan agama sebagai kambing hitam atas
keterpurukan pembentukan karakter bangsa ini. Bukankah pada dasarnya pendidikan karakter tanggung jawab kita semua.
Pendidikan
antikorupsi di sekolah hendaknya mampu memberi fondasi mental yang kuat bagi
anak bangsa untuk tidak melakukan tindakan korupsi.Munculnya generasi baru yang
antikorupsi diharapkan mampu mendobrak sistem dan budaya korup yang saat ini
berdiri dengan kokohnya. Yang menjadi pertanyaan seberapa efektifkah pendidikan
antikorupsi mampu mengedukasi generasi muda untuk tidak berperilaku korup.
Tentu saja pertanyaan ini terlalu dini, mengingat program ini belum berjalan.
Pelaksanaan
pendidikan antikorupsi di sekolah hendakanya dimulai dari budaya bebas korupsi
oleh warga sekolah. Keteladanan perilaku bersih di lingkungan sekolah dalam
pengelolaan dana pendidikan di sekolah akan menjadikan pendidikan antikorupsi
di sekolah lebih efektif. Ironis jika di sekolah diterapkan pendidikan
antikorupsi sementara praktek korupsi berjalan dengan bebasnya.Jika demikian
yang terjadi, orang jawa sering menyebut kondisi ini dengan istilah “jarkoni”
alias “ iso ujar ora iso nglakoni”. Artinya bisa bicara tetapi tidak
bisa berbuat.
Sekolah
bukanlah “gedung ajaib” yang mampu menyelesaikan setiap masalah yang ada di
negeri ini. Untuk memerangi penyakit yang bernama korupsi ini perlu
penyelesaian yang terintegrasi. Reformasi di bidang politik, birokrasi, budaya
dan lingkungan sosial harus selalu terus dilakukan guna mempersempit ruang
gerak setiap orang yang berniat merampok uang rakyat.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar di sini. Apabila komentar membutuhkan suatu jawaban, maka saya akan segera menjawabnya. Terima kasih.