![]() |
Sumber foto Obyektif.com |
Mudahnya remaja meperoleh alat
kontrasepsi juga menjadikan aktifitas seks bebas bukan lagi sesuatu yang tabu
di kalangan remaja. Bahkan saat ini di minimarket-minimarket yang menjamur di
perkotaan bahkan di pedesaan, di setiap meja kasir selalu tersedia alat
kontrasepsi (maaf, kondom).Yang lebih memprihatinkan, alat kontrasepsi ini
diletakkan berjajar dengan permen dan makanan anak-anak lainnya. Artinya
anak-anak belia saat ini sudah kenal secara tidak sengaja dengan alat
kontrasepsi. Ada cerita lucu atau bahkan mungkin tragis, tentang seorang anak
yang merengek-rengek kepada ibunya minta debelikan alat kontrasepsi yang
terpajang di dekat kasir gara-gara mengira barang tesebut permen. Maklum di
bungkus alat kontrasepsi tersebut tertulis rasa buah beserta gambar
buahnya.Sudah sepatutnya para pemilik minimarket untuk tidak meletakkan barang
dagangan yang tidak layak diketahui anak-anak di tempat-tempat terbuka. Rasanya
kurang etis meletakkan barang tersebut di tempat yang mudah dilihat dan
terjangkau oleh anak-anak di bawah umur.
Fenomena maraknya seks bebas dia
kalangan remaja di perkuat oleh survei yang dilakukan lembaga-lembaga yang
berkompeten beberapa tahun yang lalu. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
2002-2003 menyebutkan, remaja usia 14-19 tahun yang memiliki teman, pernah
berhubungan seksual sebelum menikah 34,7 persen untuk perempuan dan 30,9 persen
untuk laki-laki. Survei Komisi Nasional Perlindungan anak 2008 terhadap anak
SMP-SMA di 17 kota besa pernah menunjukkan, 97 persen remaja pernah menonton
film porno, 93,7 persen pernah berciuman, meraba kemaluan, atau melakukan oral
seks.(Kompas, 16 April 2012).
Berangkat dari kondisi di atas muncul
gagasan dari berbagai pihak tentang perlunya pendidikan seksualitas di sekolah.
Bahkan kalau perlu pendidikan seksualitas diberikan sejak SD kelas 4-6. Adapun
dasar dari pemikiran ini adalah perlunya membekali remaja dengan pengetahuan
yang memadai tentang seksualitas secara benar. Tanpa adanya bekal yang memadai
dikhawatirkan remaja tidak dapat mengelola kebutuhan seksualnya secara
benar.Selanjutnya remaja akan mudah terjebak kepada perilaku seks bebas. Akibat
lebih lanjut adalah terjadinya kehamilan dini. Dan saat ini fenomena kehamilan
dini semakin hari semakin meningkat. Tentu saja yang paling menjadi korban
adalah remaja putri. Mereka harus rela putus sekolah dan memupus cita-cita
untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi. Tidak itu saja pendidikan
seksualitas diharapakan mampu mencegah berkembangnya penyakit seksual menular
khususnya HIV.
Pendidikan seksualitas sudah menjadi
prokontra sejak sepuluh atau bahkan dua puluh tahun yang lalu. Seksualitas
sendiri saat ini masih dianggap sesuatu yang tabu dibicarakan secara terbuka
apalagi di ruang kelas. Mendengar pendidikan seksualitas yang terbayang adalah
pendidikan bagaimana mengajarkan siswa melakukan hubungan seksual. Berangkat
dari pemahaman itu wajar jika muncul banyak pihak yang menolak adanya
pendidikan seksualitas di sekolah.
Pendidikan yang terkait dengan
seksulitas sendiri sebenarnya sudah ada di sekolah.Memang tidak berdiri sendiri
sebagai satu mata pelajaran. Pendidikan seksualitas melekat pada beberapa mata
pelajaran, khsususnya IPA Bilogi dan agama. Pada pelajaran IPA Biologi bahkan
di kelas 6 SD sudah diperkenlakan alat-alat reproduksi manusia. Sedang dalam
pelajaran agama khususnya Pendidikan Agama Isalam misalnya diajarkan bagaimana
bersuci seteleh mengalami mimpi basah atau setelah berhubungan suami istri.
Sayangnya dalam menyampaikan materi tersebut tidak sedikit guru yang menekankan
aspek kognitif semata. Dalam pelajaran IPA, sering siswa hanya ditekankan
bagaimana menghafal bagian-bagian alat reproduksi saja tanpa disertai pesan
moral dan perlunya menjaga kesehatan reproduksi . Sementara itu untuk
pendidikan agama , siswa lebih ditekankan pada tata ritual mandi basah dan do’a
yang menyertainya. Di sinilah perlunya sebuah inovasi pembelajaran yang dapat
berdampak pada peningkatan kesadaran tentang pentingnya mengelola aktifitas
seksual secara benar, baik secara norma masyarakat maupun agama.
Di negara barat pendidikan
seksualitas sudah berlangsung puluhan tahun.Hal ini wajar mengingat di barat
masalah seksualitas bukan hal yang tabu. Bahkan di negara barat ada kecenderung
untuk melegalkan aktifitas seks bebas. Memang dengan adanya pendidikan
seksualitas berdampak pada turunnya tingkat kehamilan di usia remaja. Hal ini
tentu bisa dipahami mengingat dalam pendidikan seksualitas siswa di samping
diberikan pengetahuan tentang siklus menstruasi, proses kehamilan dan penyakit
menular terkait aktifitas seksual juga dibekali pengetahuan tentang
metode-metode pencegahan kehamilan.Namun demikian tidak ada jaminan bahwa
perilaku seks bebas remaja akan menurun setelah diberikannya pendidikan seksualitas.
Untuk itu jika memang pendidikan seks
akan di berikan di sekolah perlu adanya format yang tepat. Pendidikan seks yang
diberikan tidak hanya memberi pengetahuan tentang seks yang sehat tetapi perlu
adanya muatan moral sehinga remaja tidak terjebak kepada perilaku seks
bebas.Format pendidikan seksualitas di Indonesia hendaknya tidak mengadopsi
pola pendidikan seksualitas ala barat. Tentu kita tidak ingin anak kita untuk
belajar tentang alat reproduksi manusia harus dengan mendatangkan model aslinya.
Di barat sendiri hal semacam itu adalah hal biasa. Meskipun tanpa kita ketahui
bisa jadi anak-anak secara sembunyi-sembunyi telah belajar dari situs video
youtube.
Penulis berpendapat pendidikan
seksualitas tidak perlu diberikan sebagai suatu mata peajaran khusus. Saat ini
pelajaran yang memuat materi seksualitas seperti IPA Biologi dan Pendidikan
Agama sudah cukup memadai guna memberikan informasi yang benar kepada siswa
trkait dengan pengetahuan seksulitas. Permasalahanya adalah pelajaran tersebut
perlu direvitalisasi agar dapat menjawab tantangan perkembangan jaman, terkait
dengan pendidikan seksualitas. Kegiatan ekstrakurikuler juga dapat menjadi
wahana menyampaikan pengetahuan seksualitas yang benar dan bertanggung jawab.
Ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR), Kerohanian dan kegiatan
ekstrakurikuler yang relevan dapat menjadi motor penggerak generasi muda anti
seks bebas dan kehamilan dini. Hal ini akan lebih efektif, mengingat mobilitas dan intensitas mereka
dalam pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya.
Sebenarnya lembaga yang paling tepat
dalam memberikan pendidkan seksualaitas kepada anak sejak dini adalah keluarga.
Keluargalah yang sangat bertangung jawab dalam memberikan informasi yang benar
terkait dengan pengetahuan seksualitas.Konsep dosa jika berbuat zina perlu
ditekankan kepada anak sejak usia dini. Namun sayangnya tidak semua orang tua
mempunyai pengetahuan yang memadai. Pudarnya ikatan keluarga dan semakin
melemahnya nilai-nilai keluarga menambah rumitnya permasalahan. Menurunnya kepercayaan
terhadap nilai-nilai agama di masyarakat membuat masyarakat lebih toleran
terhadap perilaku seks bebas di kalangan remaja. Di sinilah peran masyarakat
khususnya dalam meningkatkan kepedulian terhadap kehidupan remaja perlu di
tingkatkan.
Sekolah bukanlah gedung ajaib yang mamapu
memecahkan segala permasalahan bangsa ini. Sekolah dengan perangkat-perangkat
yang ada bukanlah apa-apa, tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitarnya. Di
sinilah perlu dibangun kesadaran bersama tentang pentingnya melakukan
pengawasan terhadap perilaku seksual remaja.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar di sini. Apabila komentar membutuhkan suatu jawaban, maka saya akan segera menjawabnya. Terima kasih.