Monday 19 September 2011

KEMBALIKAN TANGAN ADIK YAH !


Anak adalah buah hati kita janganlah tersakiti 
Pagi itu Pak Tedjo tampak asyik mengelap mobil baru di depan rumahnya. Mobil yang sebenarnya tidak kotor itu Ia lap berulang-ulang. Tampaknya Pak Tedjo tidak rela jika ada satu butir debupun menempel di badan mobilnya. Andai saja ada seekor lalat  yang hinggap di badan mobil itu mungkin akan tergelincir karena saking kinclongnya bodi mobil tersebut. Ya, Pak Tedjo baru saja membeli mobil baru. Mobil berwarna silver itu tampak menghiasi depan rumahnya, maklum garasinya belum jadi. Bahkan mobil tersebut belum keluar surat-suratnya sehingga belum bisa dikendarai di jalan raya.
Sejak kedatangan mobil itu Pak Tedjo mempunyai kebiasaan baru. Setiap pagi sebelum berangkat mengajar dan sore hari setelah pulang kerja Ia sibuk  mengelap mobil  kemudian dipandangi berlama-lama. Kebiasaan itu menggantikan kebiasaan lama yaitu, memandikan dan menyiapkan perlengkapan sekolah  putra semata wayangnya dan setelah pulang kerja  bercengkerama dengan putra tersayang yang masih duduk di TK . Kehadiran mobil baru itu cukup menyita perhatian Pak Tedjo sehingga mengubah seratus delapan puluh derajat kebiasaan lamanya.

Wajar jika kehadiran mobil baru itu menyita perhatian Pak Tedjo, mengingat keinginan untuk memiliki mobil sudah mengendap begitu lama. Dengan tunjangan sertifikasi yang peroleh  ditambah  tunjangan milik sang istri akhirnya kurang dari lima tahun tercapailah keinginan itu. Namun kalau mobil baru itu sampai mengalihkan perhatian terhadap putra tunggalnya, sungguh menjadi aneh. Satrio putra tunggal Pak Tedjo adalah anak yang kelahirannya ditunggau sepuluh tahun lebih sejak pernikahannya. Ya tampaknya Pak Tedjo sedang melampiaskan dendam rasa ingin memiliki mobil baru.
Suatu saat Satrio pulang lebih awal dari sekolahnya.  Seperti biasa Satrio bermain-main  di luar rumah beserta temannya. Namun kali ini satrio harus bermain sendiri karena teman-temannya belum pulang sekolah. Tampak Satrio asyik mencorat-coretkan  pastel gambarnya di dinding rumah bagian depan. Satrio sangat senang menggambar, bahkan dinding rumahpun sering dijadikan media gambar. Melihat dinding rumah sudah terlalu penuh dengan coretan, Satrio mulai mencari media lainnya. Dihampirinya mobil baru milik ayahnya. Dengan riang ia corat-coret pintu bagian kanan mobil itu .Satrio semakin bersemangat ketika dilihat hasil coretan di pintu mobil tampak lebih menarik dibanding coretan di dinding rumah. Setelah lelah beramin-main Satrio segera masuk kamar untuk tidur siang.
Pak Tedjo beserta istri saat itu pulang sore karena di sekolah ada rapat dinas. Setelah memasukkan motor bututnya Ia segera menghampiri mobil barunya. Betapa terkejut ketika melihat pintu mobil baru miliknya penuh dengan coretan pastel warna-warni. Langsung saja terpikir hobi anak tunggalnya yang senang mencorat-coret.Dengan kemarahan yang memuncak  secepat kilat Pak Tedjo  menyusuri rumah sempitnya untuk mencari keberadaan putranya. Dengan teriakan berulang-ulang  ia panggil nama anaknya. Melihat kemarahan Pak Satrio , dengan lirih pengasuh anaknya memberitahukan bahwa sang putra sedang tidur.”Bangunkan, bawa Ia ke sini, dasar anak nakal !.” ucap Pak Satrio semakin keras. Dengan masih menahan rasa kantuk Satrio dituntun pengasuhnya menghadap ayah. “ Adik yang mencorat-coret mobil ayah ya?!,” bentak Pak Tedjo kepada putranya. Satrio mengangguk tanpa berani memandang ayah yang tampak marah besar. “Mana tangan yang untuk mencoret-coret mobil ayah, letakkan dia atas meja, cepat ! .“ Perintah Pak Tedjo. Tanpa tahu maksud ayahnya, Satrio menurut begitu saja. Dan, Prak...,Prak...,Prakk, berulang-ulang bunyi penggaris kayu yang panjangnyan satu meter saat diayunkan Pak Tedjo mengenai tangan mungil putranya. Mendapat pukulan benda keras berkali-kali yang tidak terduga-duga, Satrio menjerit sekeras-kerasnya. Berulang-ulang Ia minta ampun kepada ayahnya.Entah kapan pukulan itu akan berhenti jika Bu Tedjo dan pengasuh Satrio tidak beteriak agar Pak Tedjo menghentikan perbuatannya. Dengan masih memendam rasa marah Pak Tedjo meninggalkan Satrio yang menangis keras  menahan rasa sakit yang luar biasa pada tangan. Setan jenis apa yang merasuki jiwa Pak Satrio sehingga tega menghukum putranya dengan memukulkan penggaris kayu berkali-kali  sampai penggaris patah menjadi dua bagian. Bahkan setelah melakukan hukuman itu  Ia tidak mempedulikan kepanikan Bu Tedjo dan pengasuh yang berusaha menenangkan tangis Satrio.Pak Tedjo justru  melakukan kegiatan mengelap mobil barunya yang telah dicoret-coret tersebut dengan masih berharap cat mobil tidak rusak. Namun tampaknya usaha Pak Tedjo sia-sia. Marah, kesal, kecewa bercampur aduk dalam batin Pak Tedjo melihat mobil barunya yang belum sempat Ia gunakan untuk aktifitas kerja cat bodinya penuh dengan goresan.
Malam itu badan Satrio demam tinggi, tangannya membengkak. Melihat kondisi sang putra, Bu Tedjo mengajak suaminya untuk mengantar Satrio  berobat.Dengan masih memendam kemaraha, Pak Tedjo justru menyuruh memberi Satrio obat penurun panas yang biasa tersedia di kotak obat. “ Biarkan dia sakit beberapa hari sebagai hukuman, agar tidak mengulang lagi perbuatannya, biar kapok !. “ demikian alasan Pak Tedjo tidak membawa putranya berobat.
Sakit yang diderita Satrio semakin hari semakin parah bahkan tampak tangannya yang bengkak berwarna biru kehitam-hitaman. Dengan rasa sedikit menyesal Pak Tedjo mebawa putranya ke dokter. Oleh dokter Satrio dirujuk untuk langsung di bawa ke rumah sakit. Di Rumah sakit Pak Tedjo beserta istri harus menghadapi kenyataan pahit. Karena Kedua tangan Satrio harus di amputasi sampai dengan pergelangan tangan. Luka dalam yang diderita tangan Satrio sudah cukup parah. Jika tidak diamputasi justru dapat merambat pada bagian tangn lainnya. Dengan berat hati Pak Tedjo beserta Istri harus menandatangan surat persetujuan.
Beberapa jam setelah operasi,Pak Satrio beserta istri memandangi putra tunggalnya yang tergolek dengan kedua ujung tangan terbalut kain perban. Sesaat kemudian Satrio terbangun sadar dari pengaruh obat bius.Pertama kali yang dilihat Satrio begitu sadar adalah kedua tangannya. Ada yang aneh saat Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya. Satrio baru menyadari bahwa kedua telapak tangannya sudah tidak ada. “ Ayah mana tangan Adik, kembalikan tangan adik Yah. Adik Janji tidak nakal lagi. Adik ingin peluk Ayah dan Ibu. Adik Janji kalau sudah besar nanti Adik akan belikan Ayah dan Ibu mobil yang lebih bagus . Tolong kembalikan tangan Adik dulu yah !”.  Mendengar ucapan putranya Pak Tedjo tidak bisa menahan air mata yang sebelumnya menggantung di ujung matanya. Di peluknya Satrio erat dengan berurai air mata tidak henti-hentinya  mengucap maaf dan penyesalan kepada putra tunggalnya. Sementara itu bagi Bu Tedjo  ucapan Satrio bagaikan pusaran air yang menyedot seluruh jiwanya sehingga  Ia bak  di ruang hampa, kosong tanpa daya. Tubuhnya lunglai tanpa tenaga. Ucapan maaf yang ia ucap lirih di teling Satrio nyaris tak terdengar. “Ayah dan Ibu tidak salah, Satrio yang salah. Tapi jangan ambil tangan Satrio, kembalikan tangan Adik, Adik sayang Ayah dan Ibu “.Bebrapa kali Satrio berusaha merangkul kedua orang tuanya, namun tangannya yang masih lemah gagal menunaikan hasratnya.
Cerita di atas adalah sebuah peringatan  bagi yang biasa memberikan hukuman kepada anak dalam kondisi emosi. Bagaimanapun hukuman yang dilakukan dalam kondisi emosi justru melahirkan penyesalan tiada akhir. Niat untuk mendidik dengan memberi hukuman tentu saja tidak salah. Namun sebuah hukuman yang dilandasi rasa emosi justru akan berakibat kurang baik. Baik untuk yang menghukum maupun yang mendapat hukuman. Menghukum dilandasi emosi akan melahirkan tindakan irasional, dimana antara hukuman dan kesalahan yang dilakukan tidak seimbang. Untuk itu dalam kondisi emosi justru jangan melakukan tindakan hukuman.
Sebagai seorang pendidik dimana upaya pendisiplinan siswa bagian dari tugas sering pemberian hukuman  tidak terelakkan. Siswa yang tidak disiplin, suka melanggar peraturan, senang menyakiti teman adalah siswa yang perlu mendapat hukuman agar menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Namun demikian hukuman yang diberikan hendaknya proporsional artinya antara  hukuman dan kesalahan sebanding. Dihindari pemberian hukuman yang dilandasi emosi apalagi balas dendam.
Beberapa kasus guru yang memberi hukuman kepada siswa berujung kepada diajukannya guru tersebut ke meja dengan tuduhan melakukan tindakan penganiayaan. Ya, saat ini upaya pendisiplinan siswa dengan melakukan hukuman secara fisik tampaknya perlu dihindari. Hukuman yang mendidik perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah.

                                                                                                        

2 comments:

  1. anasabdulah@ymail.com24 September 2011 at 12:54

    bagus banget pak, teruskan cerita-cerita yang lain

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar di sini. Apabila komentar membutuhkan suatu jawaban, maka saya akan segera menjawabnya. Terima kasih.