Anak adalah buah hati kita janganlah tersakiti |
Sejak
kedatangan mobil itu Pak Tedjo mempunyai kebiasaan baru. Setiap pagi sebelum
berangkat mengajar dan sore hari setelah pulang kerja Ia sibuk mengelap mobil kemudian dipandangi berlama-lama. Kebiasaan
itu menggantikan kebiasaan lama yaitu, memandikan dan menyiapkan perlengkapan
sekolah putra semata wayangnya dan
setelah pulang kerja bercengkerama
dengan putra tersayang yang masih duduk di TK . Kehadiran mobil baru itu cukup
menyita perhatian Pak Tedjo sehingga mengubah seratus delapan puluh derajat
kebiasaan lamanya.
Wajar jika
kehadiran mobil baru itu menyita perhatian Pak Tedjo, mengingat keinginan untuk
memiliki mobil sudah mengendap begitu lama. Dengan tunjangan sertifikasi yang
peroleh ditambah tunjangan milik sang istri akhirnya kurang
dari lima tahun tercapailah keinginan itu. Namun kalau mobil baru itu sampai
mengalihkan perhatian terhadap putra tunggalnya, sungguh menjadi aneh. Satrio
putra tunggal Pak Tedjo adalah anak yang kelahirannya ditunggau sepuluh tahun
lebih sejak pernikahannya. Ya tampaknya Pak Tedjo sedang melampiaskan dendam
rasa ingin memiliki mobil baru.
Suatu saat
Satrio pulang lebih awal dari sekolahnya. Seperti biasa Satrio bermain-main di luar rumah beserta temannya. Namun kali ini
satrio harus bermain sendiri karena teman-temannya belum pulang sekolah. Tampak
Satrio asyik mencorat-coretkan pastel
gambarnya di dinding rumah bagian depan. Satrio sangat senang menggambar, bahkan
dinding rumahpun sering dijadikan media gambar. Melihat dinding rumah sudah terlalu
penuh dengan coretan, Satrio mulai mencari media lainnya. Dihampirinya mobil
baru milik ayahnya. Dengan riang ia corat-coret pintu bagian kanan mobil itu .Satrio
semakin bersemangat ketika dilihat hasil coretan di pintu mobil tampak lebih
menarik dibanding coretan di dinding rumah. Setelah lelah beramin-main Satrio
segera masuk kamar untuk tidur siang.
Pak Tedjo
beserta istri saat itu pulang sore karena di sekolah ada rapat dinas. Setelah
memasukkan motor bututnya Ia segera menghampiri mobil barunya. Betapa terkejut
ketika melihat pintu mobil baru miliknya penuh dengan coretan pastel
warna-warni. Langsung saja terpikir hobi anak tunggalnya yang senang
mencorat-coret.Dengan kemarahan yang memuncak secepat kilat Pak Tedjo menyusuri rumah sempitnya untuk mencari
keberadaan putranya. Dengan teriakan berulang-ulang ia panggil nama anaknya. Melihat kemarahan
Pak Satrio , dengan lirih pengasuh anaknya memberitahukan bahwa sang putra
sedang tidur.”Bangunkan, bawa Ia ke sini, dasar anak nakal !.” ucap Pak Satrio
semakin keras. Dengan masih menahan rasa kantuk Satrio dituntun pengasuhnya
menghadap ayah. “ Adik yang mencorat-coret mobil ayah ya?!,” bentak Pak Tedjo
kepada putranya. Satrio mengangguk tanpa berani memandang ayah yang tampak
marah besar. “Mana tangan yang untuk mencoret-coret mobil ayah, letakkan dia
atas meja, cepat ! .“ Perintah Pak Tedjo. Tanpa tahu maksud ayahnya, Satrio
menurut begitu saja. Dan, Prak...,Prak...,Prakk, berulang-ulang bunyi penggaris
kayu yang panjangnyan satu meter saat diayunkan Pak Tedjo mengenai tangan
mungil putranya. Mendapat pukulan benda keras berkali-kali yang tidak
terduga-duga, Satrio menjerit sekeras-kerasnya. Berulang-ulang Ia minta ampun
kepada ayahnya.Entah kapan pukulan itu akan berhenti jika Bu Tedjo dan pengasuh
Satrio tidak beteriak agar Pak Tedjo menghentikan perbuatannya. Dengan masih
memendam rasa marah Pak Tedjo meninggalkan Satrio yang menangis keras menahan rasa sakit yang luar biasa pada
tangan. Setan jenis apa yang merasuki jiwa Pak Satrio sehingga tega menghukum
putranya dengan memukulkan penggaris kayu berkali-kali sampai penggaris patah menjadi dua bagian.
Bahkan setelah melakukan hukuman itu Ia
tidak mempedulikan kepanikan Bu Tedjo dan pengasuh yang berusaha menenangkan
tangis Satrio.Pak Tedjo justru melakukan
kegiatan mengelap mobil barunya yang telah dicoret-coret tersebut dengan masih
berharap cat mobil tidak rusak. Namun tampaknya usaha Pak Tedjo sia-sia. Marah,
kesal, kecewa bercampur aduk dalam batin Pak Tedjo melihat mobil barunya yang
belum sempat Ia gunakan untuk aktifitas kerja cat bodinya penuh dengan goresan.
Malam itu
badan Satrio demam tinggi, tangannya membengkak. Melihat kondisi sang putra, Bu
Tedjo mengajak suaminya untuk mengantar Satrio
berobat.Dengan masih memendam kemaraha, Pak Tedjo justru menyuruh
memberi Satrio obat penurun panas yang biasa tersedia di kotak obat. “ Biarkan
dia sakit beberapa hari sebagai hukuman, agar tidak mengulang lagi perbuatannya,
biar kapok !. “ demikian alasan Pak Tedjo tidak membawa putranya berobat.
Sakit yang
diderita Satrio semakin hari semakin parah bahkan tampak tangannya yang bengkak
berwarna biru kehitam-hitaman. Dengan rasa sedikit menyesal Pak Tedjo mebawa
putranya ke dokter. Oleh dokter Satrio dirujuk untuk langsung di bawa ke rumah
sakit. Di Rumah sakit Pak Tedjo beserta istri harus menghadapi kenyataan pahit.
Karena Kedua tangan Satrio harus di amputasi sampai dengan pergelangan tangan.
Luka dalam yang diderita tangan Satrio sudah cukup parah. Jika tidak diamputasi
justru dapat merambat pada bagian tangn lainnya. Dengan berat hati Pak Tedjo
beserta Istri harus menandatangan surat persetujuan.
Beberapa
jam setelah operasi,Pak Satrio beserta istri memandangi putra tunggalnya yang
tergolek dengan kedua ujung tangan terbalut kain perban. Sesaat kemudian Satrio
terbangun sadar dari pengaruh obat bius.Pertama kali yang dilihat Satrio begitu
sadar adalah kedua tangannya. Ada yang aneh saat Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Satrio baru menyadari bahwa kedua telapak tangannya sudah tidak ada. “ Ayah
mana tangan Adik, kembalikan tangan adik Yah. Adik Janji tidak nakal lagi. Adik
ingin peluk Ayah dan Ibu. Adik Janji kalau sudah besar nanti Adik akan belikan
Ayah dan Ibu mobil yang lebih bagus . Tolong kembalikan tangan Adik dulu yah
!”. Mendengar ucapan putranya Pak Tedjo
tidak bisa menahan air mata yang sebelumnya menggantung di ujung matanya. Di
peluknya Satrio erat dengan berurai air mata tidak henti-hentinya mengucap maaf dan penyesalan kepada putra
tunggalnya. Sementara itu bagi Bu Tedjo ucapan
Satrio bagaikan pusaran air yang menyedot seluruh jiwanya sehingga Ia bak di ruang hampa, kosong tanpa daya. Tubuhnya
lunglai tanpa tenaga. Ucapan maaf yang ia ucap lirih di teling Satrio nyaris
tak terdengar. “Ayah dan Ibu tidak salah, Satrio yang salah. Tapi jangan ambil
tangan Satrio, kembalikan tangan Adik, Adik sayang Ayah dan Ibu “.Bebrapa kali
Satrio berusaha merangkul kedua orang tuanya, namun tangannya yang masih lemah
gagal menunaikan hasratnya.
Cerita di
atas adalah sebuah peringatan bagi yang
biasa memberikan hukuman kepada anak dalam kondisi emosi. Bagaimanapun hukuman
yang dilakukan dalam kondisi emosi justru melahirkan penyesalan tiada akhir.
Niat untuk mendidik dengan memberi hukuman tentu saja tidak salah. Namun sebuah
hukuman yang dilandasi rasa emosi justru akan berakibat kurang baik. Baik untuk
yang menghukum maupun yang mendapat hukuman. Menghukum dilandasi emosi akan
melahirkan tindakan irasional, dimana antara hukuman dan kesalahan yang
dilakukan tidak seimbang. Untuk itu dalam kondisi emosi justru jangan melakukan
tindakan hukuman.
Sebagai
seorang pendidik dimana upaya pendisiplinan siswa bagian dari tugas sering
pemberian hukuman tidak terelakkan.
Siswa yang tidak disiplin, suka melanggar peraturan, senang menyakiti teman
adalah siswa yang perlu mendapat hukuman agar menyadari kesalahan yang
diperbuatnya. Namun demikian hukuman yang diberikan hendaknya proporsional
artinya antara hukuman dan kesalahan
sebanding. Dihindari pemberian hukuman yang dilandasi emosi apalagi balas
dendam.
Beberapa
kasus guru yang memberi hukuman kepada siswa berujung kepada diajukannya guru
tersebut ke meja dengan tuduhan melakukan tindakan penganiayaan. Ya, saat ini
upaya pendisiplinan siswa dengan melakukan hukuman secara fisik tampaknya perlu
dihindari. Hukuman yang mendidik perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah.
bagus banget pak, teruskan cerita-cerita yang lain
ReplyDeleteYa, thanks komennya pak.
ReplyDelete