Ruang kelas bagi seorang guru adalah bak wilayah kekuasaan . Di dalam ruang kelas seorang guru menentukan bagaimana suasana kelas yang ada. Tidak jarang guru terjebak pada situasi dimana ia merasa sebagai pemegang otoritas kebenaran. Munculnya sikap otoriter pada guru berakibat pada kurangnya interospeksi diri. Dari sikap otoriter yang dikembangkan melahirkan sikap-sikap tidak adil terhadap siswa.
Sikap tidak adil pada guru sering muncul sebagai bentuk pertahanan diri karena tidak ingin kehilangan kewibawaan di depan siswa. Akibat dari perilaku tersebut sering siswa ditempatkan sebagai obyek yang sering dirugikan. Ketidak adilan yang dilakukan oleh guru dapat memunculkan perlawanan dari siswa baik secara terbuka maupun tersembunyi. Jika kondisi ini dipelihara yang terjadi adalah situasi kelas yang tidak kondusif dan kering.
Sudah selayaknya guru menghindari sikap-sikap tidak adil kepada siswa. Sikap tidak adil yang kita pelihara berpotensi memunculkan sikap arogansi. Sikap guru yang menjadikan diri sebagai pemegang otoritas kebenaran di smaping merugikan siswa juga merugikan guru itu sendiri. Sikap arogan menjadikan guru terjebak kejumudan pengetahuan. Menganggap diri sudah cukup ilmu tidak perlu belajar lagi.
Guna meminimalisasi sikap tidak adil dalam kelas guru perlu mengembangkan sikap-sikap sebagaimana yang diungkapakan oleh Renee Rosenbum-Lowden & Felicia Lowden Kimmel dalam bukunya yang berjudul You Have to GO to School ... You’re the Teacher adalah sebagai berikut :
Berani Mengakui Kesalahan
Sikap ini tentunya sulit dilakukan. Jangankan di dalam kelas dalam kehidupan sehari-haripun sering kita cenderung tidak mau mengakui kesalahan. Mekanisme pertahanan diri dalam melindungi dari rasa malu, merasa bodoh dan takut jatuh wibawa sering muncul begitu saja. Apalagi di depan sisswa yang sering kita anggap makhluk kecil yang lemah.Padahal sebenarnya mau mengakui kesalahan bukan tanda kelemahan. Berani mengakui kesalahan justru merupakan sikap ksatria , tanda kekuatan dan keadilan.Dengan kata maaf yang kita ucapkan terkait kesalahan yang kita lakukan justru akan menjadi model bersikap siswa dalam mengahdapi situasi yang sama.
Mengakui Kita Tidak Tahu
Mengakui kita tidak hal yang ditanyakan siswa juga merupakan hal yang sering kita anggap sulit dilakukan.Bahkan tidak jarang untuk menutupi ketidaktahuan guru justru menunjukkan kemarahan dengan menganggap pertanyaan yang dilontarkan sebagai upaya menjatuhkan harga diri guru. Bahkan tidak jarang siswa yang mengajukan pertanyaan yang tidak bisa dijawab guru dianggap sebagai biang keonaran. Sikap tidak bijaksana ini tentunya justru menurunkan kewibawaan guru.
Sebaiknya kita terus terang kepada siswa bahwa jawaban dari pertanyaan yang diajukan siswa tidak tahu dengan berjanji untuk mecari jawabannya dikemudian hari. Bahkan dari pertanyaan yang belum bisa diajawab dapat digunakan sebagai tugas tambahan siswa.Di sini guru harus menunjukkan sifat-sifat kemanusiaannya bahwa tidak ada manusia yang tahu segala-galanya. Guru menghindari sikap sebagai orang yang tahu segala-galanya meskipun kadang sikap tersebut muncul tanp disadari.
Jangan Menuntut Janji
Dalam kegiatan belajar tentunya kita pernah mengalami situasi kelas yang begitu menjengkelkan. Kelas yang berlabel “kelas onar” merupakan tempat yang sering kita coba hindari. Dan guna mencegah keonaran terjadi maka kita akan membuat janji bahkan sumpah dengan kelas tersebut plus hukumunannya agar tidak mengulangi perbuatannya. Memang setelah janji dibuat kelas tampak tenang. Namun beriring dengan berjalannya waktu jangan harap mereka akan ingat dengan janji yang mereka buat. Keonaran dalam bentuk lainpun terjadi lagi.
Dari sini kita belajar dengan membuat sumpah atau janji ternyata tidak efektif. Sebaiknya kita cukup dengan menghentikan keonaranpada saat itu tanpa perlu membuat janji atau menyuruh siswa bersumpah.
Jangan Mengingkari Janji
Suatu saat saya berjanji untuk mempertontonkan sebuah film menyangkut sebuah sekolah yang siswanya bersemangat dalam belajara meskipun dengan fasilitas minim. Pada saat saya janjikan tertanyata LCD proyektor yang akan digunakan ternyata dimanfaatkan guru lain, siswa kecewa . Dan tiba mendapat kesempatan memanfaatkan LCD proyektor ternyata sofware pemutar video pada laptop tidak berfungsi dengan baik akibatnya film tidak dapat ditayangkan.Siswapun kembali menuai kekecewaan. Dalam kesempatan lain siswa selalu menagih jani saya. Dan akhirnya guna mengobati kekecewaan mereka saya putarkan sebuah tayangan meskipun tidak sesuai dengan janji awal.Dari sini saya belajar bahwa sekali kita membuat janji maka siswa akan selalu menagih janji sampai terpenuhi. Dan saat kita tidak dapat menepati janji justru memunculkan persepsi yang kurang baik terhadap kita.
Terbuka terhadap Suasana Batin
Tentu kita pernah merasakan saat berangkat menuju sekolah guna menunaikan tugas dalam susana batin yang tidak nyaman. Bad Mood mungkin istilah tepatnya. Entah karena ada sedikit perselisihan dengan pasangan, anak yang sednag sakit atau hal lain sejenis. Berat rasanya dalam kondisi mood yang tidak baik untuk mengajar. Kalau dalam kondisi tersebut guru akan mudah terpancing emosinya terhadap siswa yang melakukan kesalahan yang sebenarnya tidak berarti. Ya, siswa sering dijadikan pelampiasan emosi guru pada saat yang bersangkutan mempunyai masalah dalam keluarga.
Dengan berterus bahwa kita sedang tidak sedang bersemangat dalam mengajar diharapakan siswa akan lebih memahami. Dengan meminta siswa lebih kooperatif berkatan dengan susasan batin anda pada saat itu tentunya dapat meminimalisir terjadinya pelampiasan emosi guru kepada siswa.
Pernah sauatu saat saya merasa begitu capek saat mengajar karena malam sebelumnya mengerjakan tugas-tugas sekolah sampai larut malam. Kepada siswa saya katakan bahwa saya sedang begitu capai sehingga kurang begitu bersemangat saat mengajar. Ternyata respon siswa cukup kooperatif sehingga susana kelas tetap kondusif.
Tidak Membeda-bedakan Tugas Untuk Siswa Laki-laki dan Perempuan
Sulit rasanya menghilangkan image bahwa lelaki lebih panats menegrjakan tugas-tugas yang bersifat fisik sedang wanita tugas-tugas rumah tangga. Bagaimana kita menganggap siswa wanita tidak pantas melakukan tenadanagan teman laki-laki meskipun dalam upaya membela diri. Sebaliknya kepada siswa laki-laki yang terlihat lebih halus gaya bicara dan tingkah lakunya kita mudah memberikan sebutan yang bisa jadi melukai perasaannya.
Sudah saatnya sikap adil kita tunjukkan kepada siswa dengan memberikan tugas yang tidak bias gender. Namun demikian tugas tersebut hendaknya bersifat proporsional tidak terlalu mengada-ada.
Tidak Berlebihan Dalam Memberikan PR
Dalam suatu waktu pada akhir pelajaran saya akan memberikan PR, beberapa siswa merasa keberatan karena sudah teralu banyak PR yang mereka peroleh dari guru lain. Tentu saja saya tidak percaya begitu saja dan kemudian saya konfirmasikan kepada kelas dan jawabannya memang demikian adanya. Saya pun membatalkan pemberian PR pada saat itu dan hanya menekankan untuk mepelajari ulang materi yang telah diberikan.
Tidak jarang tanpa disadari kita memberi tugas atau PR diluar kapasitas siswa. Ada sebuah cerita dimana seorang siswa mendapat tugas matematika hampir seratus nomor dari sebuah buku yang mengherankan adalah soal-soal yang diberikan adalah soal-soal yang belum pernah dipelajari. Unutngnya siswa tersebut mempunyai guru les di rumah. Ya, tanpa disadari dalam memberikan tugas tidak jarang membuat siswa teraniaya secara psikis. Jumah soal yang tidak pada tempatnya, tingkat kesulitan tugas yang relatif tinggi dan ketakutan akan hukuman yang akan diberakibat siswa tertekan secara mental.
Namun demikian kita perlu waspada terhadap siswa yang memang cenderung malas mengerjakan tugas yang diberiakn dengan dalih tugas teralalu banyak. Bukankah ada siswa yang diberi tugas tiga soal saja sudah merasa keberatan.
Ucapkan Tolong dan Terima Kasih
Seberapa sering kita ucapkan kata tolong pada saat meminta siswa untuk menghapus papan tulis. Dan seberapa sering kemudian kita ucapkan terima kasih setelah siswa tersebut selesai menjalankan tugasnya. Bagi guru menghapus papan tulis merupakan pekerjaan yang selayaknya dilakukan seorang siswa. Ucapan tolong bahkan terima kasih kepada siswa tersebut tampaknya tidak begitu perlu.
Sebaliknya bagaiman perasaan kita ketika kita terhadap siswa yang menganggap tuga mengajar yang kita lakuakan kepada siswa merupakan kewajiban yang tidak perlu ucapan tolong atau terima kasih. Tentu kita kecewa dengan sikap siswa yang berpandanagn tersebut. Untuk mengajarkan siswa terbiasa menggunakan kata tolong atau terima kasih tampaknya dimulai dari kebiasaan kita dalam memperlakuakan siswa. Sebagai teladan kita lebih efektif dalam menanamkan nilai sopan santunkepada siswa.
Ya, sikap adil dengan berperilaku sopan kepad siswa maka kita juga akan menfapat perlakuaan yang sama.Jangan berharap siswa kita mendapat penghormatan dari siswa jika kita sendiri tidak menunjukkan sikap hormat kepada siswa.
Tidak mudah rasanya bersikap adil kepada siswa. Faktor kebisaaan, budaya dan karakter guru berpengaruh bagaimana mengembangkan sikap adil kepada siswa. Namun dengan tekad yang kuat dan peruabahan sikap secara bertahap tentunya kita dapat mengembangkan sikap adil kepada siswa. Bukankah kita juga merasa senang diperlakukan adil.
Ya, kita bisa !.
Sumber bacaan : Renee Rosenbum-Lowden & Felicia Lowden Kimmel, 2008, You Have to GO to School ... You’re the Teacher .
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar di sini. Apabila komentar membutuhkan suatu jawaban, maka saya akan segera menjawabnya. Terima kasih.