Wayang Bang Rhoma Irama, "Terlalu!" |
Setelah saya pikir-pikir pekataan
istri saya benar “ Aja nesu “ alias jangan marah. Marah tidak ada gunanya.
Untuk meredam kedongkolan lalu saya mencoba merasionalisasi mengapa guru anak
saya menulis seperti itu. Bisa jadi karena kelelahan mengoreksi pekerjaan anak
didiknya kemudian menemukan ada lembar
tanpa nama maka untuk iseng sekedar lucu-lucuan ditulislah kata “gareng”. Tentu
saja saat menulis dengan senyum-senyum yang dapat menghilangkan kepenatan
setelah mengoreksi berlembar-lembar jawaban
ulangan. Atau mungkin anak saya dan gurunya begitu akrab sehingga
tulisan pada isian nama bentuk keakraban yang terjalin. Itu bayangan dalam
pikiran saya. Ya wis, saya tidak lagi ndongkol, lha wong yang diberi nama gareng saja enjoy-enjoy saja. Senyum ah...
Chees !.
Kejadian di atas selanjutnya saya jadikan sebagai bahan merefleksi diri. Bisa
jadi sebagai seorang guru, saya juga sering melakukan perbuatan serupa,
mengingat kebisaan saya guyon atau bercanda di sela-sela pelajaran guna memecah
kebekuan atau menghilangkan kepenatan saat KBM. Dalam guyonan tidak jarang ada
siswa yang saya jadikan obyek penderita. Meskipun kelihatan yang bersangkutan tidak keberatan
tetapi dalam hati siapa yang tahu. Apalagi
kalau orang tuanya tahu, mungkin akan seperti saya, dongkol. Jadi kejadian yang
dialami anak saya apa mungkin semacam karma
ya ?. Lho kok malah tanya.Pikir sendiri Ah !.
Tampaknya sebagai seorang guru kita
layak berhati-hati dalam memberi sebutan yang bersifat guyonan kepada siswa. Bisa jadi siswa yang kita berikan
sebutan tidak mempermasalahkan tetapi orang tua yang bersangkuatan, belum
tentu. Bahkan tanpa disadari sebutan yang kita maksud sebagai guyonanan tetapi
bagi siswa ditanggapi serius. Suatu kali saya lihat anak saya memencet-mencet ke dalam hidungnya
yang mancung. Tentu saja perbuatan itu saya tegur. Ternyata anak saya melakukan
hal itu karena ingin mempunyai hidung
pesek. Lho kok bisa !. Artis saja yang hidungnya pesek rela mengeluarkan uang
berpuluh-puluh juta agar hidungnya mancung. Lha ini, anak saya yang hidungnya
mancung malah ingin dipesekkan. Aneh kan ?. Usut punya usut ternyata anak saya pernah dipanggil dengan
sebutan “Petruk” oleh gurunya. Mungkin saja sang guru sebenarnya hanya sekedar guyon karena melihat hidung mancung
anak saya, sehingga terbayang tokoh punakawan berhidung panjang bernama “Petruk”.
Walah!, lagi-lagi tokoh punakawan. Nasib ... nasib...! .Tapi karena petruk
identik dengan tokoh punakawan yang
berhidung terlalu panjang, berwajah
jelek maka anak saya menjadi malu diidentikkan dengan tokoh tersebut.Coba saja
mendapat sebutan Gatotkaca tentu lain cerita. Huu... maunya !. Selanjutnya saya
ajak bicara ia saat menjelang tidur, dengan
berbagai penjelasan akhirnya ia mau menerima kondisi hidungnya . Bahkan saya
meminta ia untuk bersyukur karena mempunyai hidung yang mancung , tidak semua
orang diberi karunia hidung mancung.Iya
kan ?. Ya iya lah !.
Ya, sebagai seorang guru pada saat
melontarkan guyonan yang menyangkut pribadi siswa kita perlu mempertimbangkan
perasaan yang bersangkutan. Bagaimanapun
siswa juga manusia, punya hati punya rasa.Hm... mirip judul lagu saja. Boleh
boleh saja kita melontarkan humor guna memecah kebekuan atau sekedar selingan
yang menghangatkan suasana. Namun prinsip tidak saling menyakiti perlu dijaga.
Jangan sampai tanpa disadari kita melakukan kekerasan verbal terhadap siswa
sehingga bersangkutan teraniaya hatinya. Sulit juga ya!. Tidak juga, yang
penting segala sesuatu yang kita lakukan
terhadap siswa dilandasi dengan penuh kasih sayang dan ketulusan sebagai
seorang pendidik . Bagaimanapun juga kasih sayang yang tulus akan dapat dirasakan
oleh para siswa dalam situasi apapun. Semoga.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar di sini. Apabila komentar membutuhkan suatu jawaban, maka saya akan segera menjawabnya. Terima kasih.