Wednesday 19 October 2011

ANAK SAYA DIBERI NAMA ” GARENG”


Wayang Bang Rhoma Irama, "Terlalu!"
      Malam  itu anak saya meminta tanda tangan hasil ulangan tengah semester tengah semester yang  telah dilaksanakan. Saya kemudian melihat lembar demi lembar hasil ulangan  tersebut. Lega rasanya setelah melihat nilai yang dicapai. Lumayan, tidak terlalu mengecewakan, mengingat anak saya paling susah kalau diminta belajar. Dengan semangat saya tanda tangani lembar hasil ulangan. Namun saya agak kaget ketika akan menandatangani pada sebuah lembar hasil ulangan . Lho kok bisa ?. Ya bisa, lha wong pada lembar tersebut pada isian nama tertulis kata “gareng”.Tulisan itu menggunakan tinta merah dan terlihat rapi, pasti tulisan guru anak saya, demikian batin saya menebak. Saya tanyakan kepada anak saya , apakah lembar ulangan  tersebut miliknya . Anak saya mengiyakan, katanya karena lupa menulis nama maka sang guru menulis “gareng” pada isian nama.Benar kan?. Tampaknya anak saya tidak keberatan, dan menganggap itu sebagai bentuk hukuman atas kelalaian menulis nama. Namun demikian dalam hati saya agak sedikit dongkol. Masak nama anak saya yang diberikan dengan kenduri, bahkan menyembelih dua ekor kambing diganti dengan nama “Gareng” tanpa tumpeng tanpa bubur merah lagi. Gareng adalah tokoh punakawan berhidung bulat besar, tubuhnya pendek, tangannya “ceko”  kalau jalan miring  mirip kepiting. Asem tenan!. “ Aja Nesu ! “, ledek istri saya melihat wajah saya terlihat sewot. Padahal kalimat tersebut biasanya sering saya ucapkan untuk meredam kesewotan istri saya, sekarang malah berbalik. Hm, gantian ni ye !.  Dan sebagai bentuk protes ketidaksetujuan atas peng”Gareng”an nama anak saya, lembar ulangan tersebut tidak saya tanda tangani. Titik !!!.

            Setelah saya pikir-pikir pekataan istri saya benar “ Aja nesu  “ alias jangan marah. Marah tidak ada gunanya. Untuk meredam kedongkolan lalu saya mencoba merasionalisasi mengapa guru anak saya menulis seperti itu. Bisa jadi karena kelelahan mengoreksi pekerjaan anak didiknya kemudian menemukan  ada lembar tanpa nama maka untuk iseng sekedar lucu-lucuan ditulislah kata “gareng”. Tentu saja saat menulis dengan senyum-senyum yang dapat menghilangkan kepenatan setelah mengoreksi berlembar-lembar jawaban  ulangan. Atau mungkin anak saya dan gurunya begitu akrab sehingga tulisan pada isian nama bentuk keakraban yang terjalin. Itu bayangan dalam pikiran saya. Ya wis, saya tidak lagi ndongkol, lha wong yang diberi nama  gareng saja enjoy-enjoy saja. Senyum ah... Chees !.
            Kejadian di atas selanjutnya saya  jadikan sebagai bahan merefleksi diri. Bisa jadi sebagai seorang guru, saya juga sering melakukan perbuatan serupa, mengingat kebisaan saya guyon atau bercanda di sela-sela pelajaran guna memecah kebekuan atau menghilangkan kepenatan saat KBM. Dalam guyonan tidak jarang ada siswa yang saya jadikan obyek penderita. Meskipun  kelihatan yang bersangkutan tidak keberatan tetapi dalam  hati siapa yang tahu. Apalagi kalau orang tuanya tahu, mungkin akan seperti saya, dongkol. Jadi kejadian yang dialami anak saya apa mungkin semacam karma  ya ?. Lho kok malah tanya.Pikir sendiri Ah !.
            Tampaknya sebagai seorang guru kita layak berhati-hati dalam memberi sebutan yang bersifat guyonan kepada  siswa. Bisa jadi siswa yang kita berikan sebutan tidak mempermasalahkan tetapi orang tua yang bersangkuatan, belum tentu. Bahkan tanpa disadari sebutan yang kita maksud sebagai guyonanan tetapi bagi siswa ditanggapi serius. Suatu kali saya lihat  anak saya memencet-mencet ke dalam hidungnya yang mancung. Tentu saja perbuatan itu saya tegur. Ternyata anak saya melakukan hal itu karena ingin mempunyai  hidung pesek. Lho kok bisa !. Artis saja yang hidungnya pesek rela mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta agar hidungnya mancung. Lha ini, anak saya yang hidungnya mancung malah ingin dipesekkan. Aneh kan ?. Usut punya usut  ternyata anak saya pernah dipanggil dengan sebutan “Petruk” oleh gurunya. Mungkin saja sang guru sebenarnya hanya  sekedar guyon karena melihat hidung mancung anak saya, sehingga terbayang tokoh punakawan berhidung panjang bernama “Petruk”. Walah!, lagi-lagi tokoh punakawan. Nasib ... nasib...! .Tapi karena petruk identik dengan  tokoh punakawan yang berhidung  terlalu panjang, berwajah jelek maka anak saya menjadi malu diidentikkan dengan tokoh tersebut.Coba saja mendapat sebutan Gatotkaca tentu lain cerita. Huu... maunya !. Selanjutnya saya ajak bicara ia  saat menjelang tidur, dengan berbagai penjelasan akhirnya ia mau menerima kondisi hidungnya . Bahkan saya meminta ia untuk bersyukur karena mempunyai hidung yang mancung , tidak semua orang diberi karunia  hidung mancung.Iya kan ?. Ya iya lah !.
            Ya, sebagai seorang guru pada saat melontarkan guyonan yang menyangkut pribadi siswa kita perlu mempertimbangkan perasaan yang bersangkutan. Bagaimanapun  siswa juga manusia, punya hati punya rasa.Hm... mirip judul lagu saja. Boleh boleh saja kita melontarkan humor guna memecah kebekuan atau sekedar selingan yang menghangatkan suasana. Namun prinsip tidak saling menyakiti perlu dijaga. Jangan sampai tanpa disadari kita melakukan kekerasan verbal terhadap siswa sehingga bersangkutan teraniaya hatinya. Sulit juga ya!. Tidak juga, yang penting segala sesuatu yang kita  lakukan terhadap siswa dilandasi dengan penuh kasih sayang dan ketulusan sebagai seorang pendidik . Bagaimanapun juga  kasih sayang yang tulus akan dapat dirasakan oleh para siswa dalam situasi apapun. Semoga.
           




   

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar di sini. Apabila komentar membutuhkan suatu jawaban, maka saya akan segera menjawabnya. Terima kasih.